Sunday, May 24, 2015

3. Birthday Doodle Art

Posted by Unknown at 12:34 PM 0 comments
Hi!
How's life? Is it better? Chin up, 'cause you have a big God.
Okay, on May 22nd 2015 ago it was Hana's birthday. And of course my friends and I made her a memorable birthday present. Even though in the end Sherlyn and I is the one who worked harder than anyone.
So, what is it? Yap, as you can see it is a doodle for her. Honestly, it was not originally made from our imagination. We combined some doodle in the internet than add some.

Hana's Birthday Doodle. How cool!
I really can't believe that we could make such an amazing birthday doodle like this. Whooo!
Beside that, we also gave her a jar of stars that contains our wishes for her.

Cute, isn't it?
That's all. See ya!

Friday, May 15, 2015

Review: Menjumpai Lagi Karakter Poirot lewat Buku "The Monogram Murders"

Posted by Unknown at 10:39 PM 0 comments
"The Monogram Murders". Sumber: Dok. Pribadi
“The Monogram Murders” merupakan buku terbaru dengan karakter Hercule Poirot yang diluncurkan setelah kematian Agatha Christie, tepatnya pada tahun 2014 lalu, ditulis oleh Sophie Hannah. Bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah fiksi penggemar (fanfiction).
Buku setebal 376 halaman ini merupakan terbitan dari PT. Gramedia Pustaka Utama. Berukuran 13 x 20 cm. Jenis kertas yang digunakan pada sampul buku adalah Art Karton. Nama Agatha Christie yang tercantum di sampul buku merupakan atas persetujuan dari pihak keluarga Christie. Dari segi desain, tampak simple dan elegan serta menggambarkan inti cerita yang dimuat. Namun, dengan adanya garis korban yang berada pada sisi kanan tersebut tampak kurang diatur dengan tepat. Seharusnya ukuran serta dimensinya perlu diatur lebih baik lagi agar tampak selaras dengan gambar lift di dekat gambar korban.
Kisah dimulai ketika seorang wanita bernama Jennie memasuki Pleasant’s Coffee House, sebuah kedai kopi di London tempat dimana Poirot menghabiskan waktunya pada pukul 19.30 setiap Kamis malam. Wanita itu ketakutan karena akan dibunuh, tetapi dia meminta Poirot untuk tidak mencari dan menghukum pembunuhnya. Dia bersikeras bahwa setelah dirinya mati keadilan akan ditegakkan.
Setibanya Poirot di gedung kos milik Mrs. Blanche Unsworth, tampak Edward Catchpool, seorang polisi di Scotland Yard yang tinggal bersamanya, tengah letih memikirkan kasus pembunuhan yang baru terjadi pada malam itu. Ada tiga tamu yang dibunuh di sebuah hotel mewah di London, dan sebuah manset dimasukkan ke mulut masing-masing korban. Apakah peristiwa ini berkaitan dengan wanita yang ketakutan itu?
Sementara Poirot berusaha keras menyatukan keping-keping teka-teki yang aneh ini, si pembunuh mempersiapkan kamar untuk korban keempat....
Berhubung saya belum pernah membaca karya Agatha Christie sebelumnya, sehingga saya belum mampu membandingkan kekuatan Poirot dengan buku terdahulu.
Cerita ini mengambil setting pada musim dingin sekitar tahun 1929 di kota London dan sebuah desa kecil bernama Great Holling.
Pada novel ini karakter Poirot tampak sarkastik dan selalu ditunjukkannya lewat perkataannya pada Catchpool. Sedangkan tokoh Catchpool digambarkan sebagai Polisi yang tidak secemerlang Poirot dan selalu diombang-ambingkan oleh petunjuk-petunjuk yang terus bermunculan. Dengan hadirnya sosok Catchpool membuat pembaca terasa dibuat bertanya-tanya mengenai jalan cerita selanjutnya, berhubung sebagian besar bab dalam buku ini menggunakan sudut pandang Catchpool yang mana kurang begitu cakap dalam mencermati petunjuk, namun mampu memberikan jalan keluar dari pemikiran Poirot yang buntu lewat perkataan polosnya. Seringkali Poirot menuntunnya untuk berimajinasi dengan adanya serangkaian petunjuk yang muncul.
Pada sela-sela cerita diselipkan drama konflik percintaan yang melatarbelakangi kasus pembunuhan di hotel tersebut. Namun, emosi yang ditunjukkan terlalu berlebihan karena terdapat empat tokoh yang memiliki kegilaan begitu mendalam akan rasa cintanya terhadap orang yang mereka kasihi. Hal ini membuat jalan cerita tampak terlalu klise dan kurang mampu menyentakkan pembaca pada bagian klimaksnya.
Meskipun novel ini menyajikan twist yang kurang menggigit karena beberapa penguakan misteri sedikit dipaksakan, tetapi “The Monogram Murders” layak mendapatkan apresiasi. Buku ini patut dibaca oleh para penggemar Christie yang rindu akan hadirnya sosok Poirot.

Sumber Referensi:

https://perpuskecil.wordpress.com/2014/09/25/the-monogram-murders-by-sophie-hannah/

https://suarasuarahujan.wordpress.com/2014/10/05/review-novel-the-monogram-murders-pembunuhan-monogram-sophie-hannah/


Review: Kisah Luka Menganga Daerah Perbatasan lewat Film “Tanah Surga... Katanya”

Posted by Unknown at 12:18 PM 0 comments


Cover Film "Tanah Surga... Katanya". Sumber: http://id.wikipedia.org/



“Tanah Surga... Katanya” merupakan garapan sutradara Herwin Novrianto yang dirilis pada tahun 2012 lalu. Film ini menceritakan kehidupan sosial penduduk di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di Pulau Kalimantan yang memilukan. Negara Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, namun kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan masih sangat minim.

Pada bagian awal, penonton disuguhi dengan gambaran pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Sarana pendidikan yang digunakan adalah sebuah bangunan usang yang hanya ditempati oleh kelas 3 dan 4. Tempat yang digunakan hanyalah satu ruangan yang dipisah oleh sebuah sekat. Begitu pula minimnya tenaga pendidikan di daerah ini yang hanya mempunyai seorang guru, yaitu Astuti yang diperankan oleh Astri Nurdin. Para murid bahkan tidak mengetahui gambaran persis mengenai bendera tanah air mereka sendiri.

Di dusun yang dikepalai oleh Bapak Ghani ini, tinggallah seorang kakek bernama Hasyim dan kedua cucunya, Salman dan Salima. Karakter Hasyim yang dimainkan oleh Fuad Idris ini selalu berusaha menanamkan semangat nasionalisme kepada cucunya dengan menceritakan kisah-kisahnya selama menjadi pejuang NKRI yang membela tanah airnya di daerah perbatasan.

Setibanya Haris, ayah Salman dan Salima, timbul konflik antara Haris dan Hasyim, sebab Ia bersikukuh untuk memboyong mereka sekeluarga pindah ke Negeri Jiran. Ia percaya bahwa hidup di sana lebih terjamin daripada terlunta-lunta di negeri sendiri.

Di tengah-tengah konflik tersebut, muncullah dr. Anwar yang menjadi dokter baru di dusun tersebut. Pada bagian ketika Astuti menceritakan kehidupan penduduk perbatasan kepada dr. Anwar inilah menunjukkan betapa minimnya kesejahteraan penduduk yang ditonjolkan dari segi ekonomi. Keberadaan mata uang ringgit lebih laku ketimbang rupiah. Penyebabnya adalah banyak penduduk yang berdagang di Malaysia yang mengharuskan mereka menggunakan ringgit.

Aspek yang paling mendominasi film ini adalah adegan kaku yang diperankan oleh banyak pemain. Sebagian besar justru terdapat pada tokoh utama, yaitu Salman yang diperankan oleh Osa Aji Santoso. Khususnya adegan perpisahannya dengan Tissa Biani Azzahra yang berperan menjadi Salima, adiknya. Saat melepas gandengan tangan mereka setelah Salima memberikan mainan gelembung kepada Salman seharusnya tidak perlu dihadirkan. Ditambah pula saat Salman meniupkan gelembung ke arah kepergian ayah dan adiknya. Kedua bagian ini terlihat ingin membuat penonton tersentuh, namun kurang menggigit. Adegan perpisahan tersebut bisa ditampilkan dengan menonjolkan mimik sedih pada kedua bersaudara tersebut yang justru mungkin mampu memainkan emosi pada film ini.

Selain itu, bagian penutup ketika Salman menghubungi ayahnya seraya menangis lewat ponsel ketika kakeknya meninggal di saat Haris bergembira menonton pertandingan sepak bola memang dirasa cukup klimaks. Namun, adegan yang seharusnya mampu menyentakkan emosi penonton dinilai kuang berhasil karena akting Ence Bagus sebagai Haris di sini kurang mampu membuat suasana menjadi menyentuh karena kurang piawai mengekspresikan perannya lewat mimik wajah.

Unsur nasionalisme yang dimasukkan ke dalam film ini juga seperti dipaksakan dan dicampurkan begitu saja. Ketika Astuti meminjam bendera kakek Hasyim tampak mereka berdua merentangkan bendera secara bersamaan. Sutradara terlihat ingin menyajikan semangat nasionalisme, namun justru terlalu terkesan memaksakan diri.

Dari sekian kekurangan dari film tersebut, terdapat beberapa keunggulan dari film ini. Kehadiran Ringgo Agus Rahman sebagai dokter baru di dusun tersebut menyelipkan bumbu-bumbu humor dan akting menawannya yang menghibur. Khususnya ketika mulai adanya ketertarikan kepada Astuti. Humor lain yang dihadirkan juga dibawakan oleh teman Salman di sela-sela film.

Cerita yang diracik oleh Danial Rifki ini mempunyai alur cerita dan penggambaran menarik mengenai kehidupan di wilayah perbatasan. Lagu Indonesia Raya kalah saing dengan Lagu Kolam Susu sebab Lagu Indonesia Raya jarang sekali didengar anak-anak di Radio, mereka selalu mendengarkan lagu Kolam Susu milik Koes Plus. Selain itu, lewat puisi yang dibacakan oleh Salman berisikan sindiran terhadap pejabat tinggi pemerintahan mengenai kurangnya perhatian mereka terhadap kondisi kehidupan masyarakat perbatasan yang serba kekurangan.

Film nasionalisme memang bukan hal yang baru dalam industri perfilman tanah air, namun tema yang diangkat cukup berbeda dari film-film sejenisnya yang biasa diluncurkan.

Secara umum, film “Tanah Surga... Katanya”  layak mendapat apresiasi tinggi. Penonton dapat mengambil banyak pelajaran tentang perlunya semangat cinta tanah air. Selain itu, humor-humor sejuk dari teman Salman dan dr. Anwar dapat menjadi hiburan tersendiri dari film ini.




Sumber Referensi:

Monday, May 11, 2015

Diam

Posted by Unknown at 8:59 PM 0 comments

Pernahkah engkau membenci diam?
Aku sangat membencinya demi seisi alam ini.
Sesak. Sesak ketika hanya membiarkan rentetan kata terjebak dalam otak.
Sudah beberapa menit berlalu. Dan kita hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Membiarkan ego terus tumbuh.
Entah siapa yang memulai jarak ini.
Entah apa yang membuat kita berubah diam ketika dipertemukan.
Aku tidak akan menyalahkanmu tentang keadaan ini. Nyatanya akupun juga ikut andil atas hal ini.
Hanya saja.. Aku rindu saat ketika kita bisa bertegur sapa sebelum perasaan aneh ini muncul.
Tak perlu canggung satu sama lain. Bebas, tanpa harus berhati-hati.  Apalagi untuk khawatir.
Andai saja kau tahu betapa sering aku menceritakanmu kepada orang lain, mengamatimu dari kejauhan, mencari tahu tentang dirimu secara diam-diam.
Konyol bukan?
Kau tidak akan mengira seberapa cepat jantungku berdetak dalam keheningan ini.
Yang jelas, aku tidak akan membiarkanmu mengetahuinya.


 

Retno's Here Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos