Friday, May 15, 2015

Review: Kisah Luka Menganga Daerah Perbatasan lewat Film “Tanah Surga... Katanya”

Posted by Unknown at 12:18 PM


Cover Film "Tanah Surga... Katanya". Sumber: http://id.wikipedia.org/



“Tanah Surga... Katanya” merupakan garapan sutradara Herwin Novrianto yang dirilis pada tahun 2012 lalu. Film ini menceritakan kehidupan sosial penduduk di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di Pulau Kalimantan yang memilukan. Negara Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah, namun kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan masih sangat minim.

Pada bagian awal, penonton disuguhi dengan gambaran pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Sarana pendidikan yang digunakan adalah sebuah bangunan usang yang hanya ditempati oleh kelas 3 dan 4. Tempat yang digunakan hanyalah satu ruangan yang dipisah oleh sebuah sekat. Begitu pula minimnya tenaga pendidikan di daerah ini yang hanya mempunyai seorang guru, yaitu Astuti yang diperankan oleh Astri Nurdin. Para murid bahkan tidak mengetahui gambaran persis mengenai bendera tanah air mereka sendiri.

Di dusun yang dikepalai oleh Bapak Ghani ini, tinggallah seorang kakek bernama Hasyim dan kedua cucunya, Salman dan Salima. Karakter Hasyim yang dimainkan oleh Fuad Idris ini selalu berusaha menanamkan semangat nasionalisme kepada cucunya dengan menceritakan kisah-kisahnya selama menjadi pejuang NKRI yang membela tanah airnya di daerah perbatasan.

Setibanya Haris, ayah Salman dan Salima, timbul konflik antara Haris dan Hasyim, sebab Ia bersikukuh untuk memboyong mereka sekeluarga pindah ke Negeri Jiran. Ia percaya bahwa hidup di sana lebih terjamin daripada terlunta-lunta di negeri sendiri.

Di tengah-tengah konflik tersebut, muncullah dr. Anwar yang menjadi dokter baru di dusun tersebut. Pada bagian ketika Astuti menceritakan kehidupan penduduk perbatasan kepada dr. Anwar inilah menunjukkan betapa minimnya kesejahteraan penduduk yang ditonjolkan dari segi ekonomi. Keberadaan mata uang ringgit lebih laku ketimbang rupiah. Penyebabnya adalah banyak penduduk yang berdagang di Malaysia yang mengharuskan mereka menggunakan ringgit.

Aspek yang paling mendominasi film ini adalah adegan kaku yang diperankan oleh banyak pemain. Sebagian besar justru terdapat pada tokoh utama, yaitu Salman yang diperankan oleh Osa Aji Santoso. Khususnya adegan perpisahannya dengan Tissa Biani Azzahra yang berperan menjadi Salima, adiknya. Saat melepas gandengan tangan mereka setelah Salima memberikan mainan gelembung kepada Salman seharusnya tidak perlu dihadirkan. Ditambah pula saat Salman meniupkan gelembung ke arah kepergian ayah dan adiknya. Kedua bagian ini terlihat ingin membuat penonton tersentuh, namun kurang menggigit. Adegan perpisahan tersebut bisa ditampilkan dengan menonjolkan mimik sedih pada kedua bersaudara tersebut yang justru mungkin mampu memainkan emosi pada film ini.

Selain itu, bagian penutup ketika Salman menghubungi ayahnya seraya menangis lewat ponsel ketika kakeknya meninggal di saat Haris bergembira menonton pertandingan sepak bola memang dirasa cukup klimaks. Namun, adegan yang seharusnya mampu menyentakkan emosi penonton dinilai kuang berhasil karena akting Ence Bagus sebagai Haris di sini kurang mampu membuat suasana menjadi menyentuh karena kurang piawai mengekspresikan perannya lewat mimik wajah.

Unsur nasionalisme yang dimasukkan ke dalam film ini juga seperti dipaksakan dan dicampurkan begitu saja. Ketika Astuti meminjam bendera kakek Hasyim tampak mereka berdua merentangkan bendera secara bersamaan. Sutradara terlihat ingin menyajikan semangat nasionalisme, namun justru terlalu terkesan memaksakan diri.

Dari sekian kekurangan dari film tersebut, terdapat beberapa keunggulan dari film ini. Kehadiran Ringgo Agus Rahman sebagai dokter baru di dusun tersebut menyelipkan bumbu-bumbu humor dan akting menawannya yang menghibur. Khususnya ketika mulai adanya ketertarikan kepada Astuti. Humor lain yang dihadirkan juga dibawakan oleh teman Salman di sela-sela film.

Cerita yang diracik oleh Danial Rifki ini mempunyai alur cerita dan penggambaran menarik mengenai kehidupan di wilayah perbatasan. Lagu Indonesia Raya kalah saing dengan Lagu Kolam Susu sebab Lagu Indonesia Raya jarang sekali didengar anak-anak di Radio, mereka selalu mendengarkan lagu Kolam Susu milik Koes Plus. Selain itu, lewat puisi yang dibacakan oleh Salman berisikan sindiran terhadap pejabat tinggi pemerintahan mengenai kurangnya perhatian mereka terhadap kondisi kehidupan masyarakat perbatasan yang serba kekurangan.

Film nasionalisme memang bukan hal yang baru dalam industri perfilman tanah air, namun tema yang diangkat cukup berbeda dari film-film sejenisnya yang biasa diluncurkan.

Secara umum, film “Tanah Surga... Katanya”  layak mendapat apresiasi tinggi. Penonton dapat mengambil banyak pelajaran tentang perlunya semangat cinta tanah air. Selain itu, humor-humor sejuk dari teman Salman dan dr. Anwar dapat menjadi hiburan tersendiri dari film ini.




Sumber Referensi:

0 comments:

Post a Comment

 

Retno's Here Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos