“Tanah Surga... Katanya” merupakan garapan sutradara
Herwin Novrianto yang dirilis pada tahun 2012 lalu. Film ini menceritakan kehidupan
sosial penduduk di perbatasan Indonesia dengan Malaysia, tepatnya di Pulau
Kalimantan yang memilukan. Negara Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah,
namun kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan masih sangat minim.
Pada bagian awal, penonton disuguhi dengan gambaran
pendidikan anak-anak di daerah perbatasan. Sarana pendidikan yang digunakan
adalah sebuah bangunan usang yang hanya ditempati oleh kelas 3 dan 4. Tempat
yang digunakan hanyalah satu ruangan yang dipisah oleh sebuah sekat. Begitu
pula minimnya tenaga pendidikan di daerah ini yang hanya mempunyai seorang
guru, yaitu Astuti yang diperankan oleh Astri Nurdin. Para murid bahkan tidak
mengetahui gambaran persis mengenai bendera tanah air mereka sendiri.
Di dusun yang dikepalai oleh Bapak Ghani ini,
tinggallah seorang kakek bernama Hasyim dan kedua cucunya, Salman dan Salima. Karakter
Hasyim yang dimainkan oleh Fuad Idris ini selalu berusaha menanamkan semangat
nasionalisme kepada cucunya dengan menceritakan kisah-kisahnya selama menjadi
pejuang NKRI yang membela tanah airnya di daerah perbatasan.
Setibanya Haris, ayah Salman dan Salima, timbul
konflik antara Haris dan Hasyim, sebab Ia bersikukuh untuk memboyong mereka
sekeluarga pindah ke Negeri Jiran. Ia percaya bahwa hidup di sana lebih
terjamin daripada terlunta-lunta di negeri sendiri.
Di tengah-tengah konflik tersebut, muncullah dr.
Anwar yang menjadi dokter baru di dusun tersebut. Pada bagian ketika Astuti
menceritakan kehidupan penduduk perbatasan kepada dr. Anwar inilah menunjukkan
betapa minimnya kesejahteraan penduduk yang ditonjolkan dari segi ekonomi.
Keberadaan mata uang ringgit lebih laku ketimbang rupiah. Penyebabnya adalah banyak
penduduk yang berdagang di Malaysia yang mengharuskan mereka menggunakan
ringgit.
Aspek yang paling mendominasi film ini adalah adegan
kaku yang diperankan oleh banyak pemain. Sebagian besar justru terdapat pada
tokoh utama, yaitu Salman yang diperankan oleh Osa Aji Santoso. Khususnya
adegan perpisahannya dengan Tissa Biani Azzahra yang berperan menjadi Salima,
adiknya. Saat melepas gandengan tangan mereka setelah Salima memberikan mainan
gelembung kepada Salman seharusnya tidak perlu dihadirkan. Ditambah pula saat
Salman meniupkan gelembung ke arah kepergian ayah dan adiknya. Kedua bagian ini
terlihat ingin membuat penonton tersentuh, namun kurang menggigit. Adegan
perpisahan tersebut bisa ditampilkan dengan menonjolkan mimik sedih pada kedua
bersaudara tersebut yang justru mungkin mampu memainkan emosi pada film ini.
Selain itu, bagian penutup ketika Salman menghubungi
ayahnya seraya menangis lewat ponsel ketika kakeknya meninggal di saat Haris
bergembira menonton pertandingan sepak bola memang dirasa cukup klimaks. Namun,
adegan yang seharusnya mampu menyentakkan emosi penonton dinilai kuang berhasil
karena akting Ence Bagus sebagai Haris di sini kurang mampu membuat suasana menjadi
menyentuh karena kurang piawai mengekspresikan perannya lewat mimik wajah.
Unsur nasionalisme yang dimasukkan ke dalam film ini
juga seperti dipaksakan dan dicampurkan begitu saja. Ketika Astuti meminjam
bendera kakek Hasyim tampak mereka berdua merentangkan bendera secara
bersamaan. Sutradara terlihat ingin menyajikan semangat nasionalisme, namun
justru terlalu terkesan memaksakan diri.
Dari sekian kekurangan dari film tersebut, terdapat
beberapa keunggulan dari film ini. Kehadiran Ringgo Agus Rahman sebagai dokter
baru di dusun tersebut menyelipkan bumbu-bumbu humor dan akting menawannya yang
menghibur. Khususnya ketika mulai adanya ketertarikan kepada Astuti. Humor lain
yang dihadirkan juga dibawakan oleh teman Salman di sela-sela film.
Cerita
yang diracik oleh Danial Rifki ini mempunyai alur cerita dan penggambaran
menarik mengenai kehidupan di wilayah perbatasan. Lagu Indonesia Raya kalah
saing dengan Lagu Kolam Susu sebab Lagu Indonesia Raya jarang sekali didengar
anak-anak di Radio, mereka selalu mendengarkan lagu Kolam Susu milik Koes Plus.
Selain itu, lewat puisi yang dibacakan oleh Salman berisikan sindiran terhadap
pejabat tinggi pemerintahan mengenai kurangnya perhatian mereka terhadap kondisi
kehidupan masyarakat perbatasan yang serba kekurangan.
Film
nasionalisme memang bukan hal yang baru dalam industri perfilman tanah air,
namun tema yang diangkat cukup berbeda dari film-film sejenisnya yang biasa
diluncurkan.
Secara
umum, film “Tanah Surga... Katanya” layak mendapat apresiasi tinggi. Penonton
dapat mengambil banyak pelajaran tentang perlunya semangat cinta tanah air.
Selain itu, humor-humor sejuk dari teman Salman dan dr. Anwar dapat menjadi hiburan
tersendiri dari film ini.
Sumber Referensi:
0 comments:
Post a Comment