"The Monogram Murders". Sumber: Dok. Pribadi |
“The Monogram Murders”
merupakan buku terbaru dengan karakter Hercule Poirot yang diluncurkan setelah
kematian Agatha Christie, tepatnya pada tahun 2014 lalu, ditulis oleh Sophie
Hannah. Bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah fiksi penggemar (fanfiction).
Buku setebal 376
halaman ini merupakan terbitan dari PT. Gramedia Pustaka Utama. Berukuran 13 x 20
cm. Jenis kertas yang digunakan pada sampul buku adalah Art Karton. Nama Agatha
Christie yang tercantum di sampul buku merupakan atas persetujuan dari pihak
keluarga Christie. Dari segi desain, tampak simple
dan elegan serta menggambarkan inti cerita yang dimuat. Namun, dengan
adanya garis korban yang berada pada sisi kanan tersebut tampak kurang diatur
dengan tepat. Seharusnya ukuran serta dimensinya perlu diatur lebih baik lagi
agar tampak selaras dengan gambar lift di dekat gambar korban.
Kisah dimulai ketika
seorang wanita bernama Jennie memasuki Pleasant’s Coffee House, sebuah kedai
kopi di London tempat dimana Poirot menghabiskan waktunya pada pukul 19.30 setiap
Kamis malam. Wanita itu ketakutan karena akan dibunuh, tetapi dia meminta
Poirot untuk tidak mencari dan menghukum pembunuhnya. Dia bersikeras bahwa
setelah dirinya mati keadilan akan ditegakkan.
Setibanya Poirot di gedung
kos milik Mrs. Blanche Unsworth, tampak Edward Catchpool, seorang polisi di
Scotland Yard yang tinggal bersamanya, tengah letih memikirkan kasus pembunuhan
yang baru terjadi pada malam itu. Ada tiga tamu yang dibunuh di sebuah hotel
mewah di London, dan sebuah manset dimasukkan ke mulut masing-masing korban.
Apakah peristiwa ini berkaitan dengan wanita yang ketakutan itu?
Sementara Poirot
berusaha keras menyatukan keping-keping teka-teki yang aneh ini, si pembunuh
mempersiapkan kamar untuk korban keempat....
Berhubung saya belum
pernah membaca karya Agatha Christie sebelumnya, sehingga saya belum mampu
membandingkan kekuatan Poirot dengan buku terdahulu.
Cerita ini mengambil
setting pada musim dingin sekitar tahun 1929 di kota London dan sebuah desa
kecil bernama Great Holling.
Pada novel ini karakter
Poirot tampak sarkastik dan selalu ditunjukkannya lewat perkataannya pada
Catchpool. Sedangkan tokoh Catchpool digambarkan sebagai Polisi yang tidak
secemerlang Poirot dan selalu diombang-ambingkan oleh petunjuk-petunjuk yang
terus bermunculan. Dengan hadirnya sosok Catchpool membuat pembaca terasa
dibuat bertanya-tanya mengenai jalan cerita selanjutnya, berhubung sebagian
besar bab dalam buku ini menggunakan sudut pandang Catchpool yang mana kurang
begitu cakap dalam mencermati petunjuk, namun mampu memberikan jalan keluar
dari pemikiran Poirot yang buntu lewat perkataan polosnya. Seringkali Poirot
menuntunnya untuk berimajinasi dengan adanya serangkaian petunjuk yang muncul.
Pada sela-sela cerita
diselipkan drama konflik percintaan yang melatarbelakangi kasus pembunuhan di
hotel tersebut. Namun, emosi yang ditunjukkan terlalu berlebihan karena
terdapat empat tokoh yang memiliki kegilaan begitu mendalam akan rasa cintanya
terhadap orang yang mereka kasihi. Hal ini membuat jalan cerita tampak terlalu
klise dan kurang mampu menyentakkan pembaca pada bagian klimaksnya.
Meskipun novel ini
menyajikan twist yang kurang
menggigit karena beberapa penguakan misteri sedikit dipaksakan, tetapi “The
Monogram Murders” layak mendapatkan apresiasi. Buku ini patut dibaca oleh para
penggemar Christie yang rindu akan hadirnya sosok Poirot.
0 comments:
Post a Comment